Akhir Cerita Cerpen karya Dinar Kameswara

Dinar 22 Mei 2020 20:56:56 WIB

Pemandangan sore itu membuat Suwarsi tak lelah melangkah. Melihat dan berjalan dalam kebasahan. Masih mengamati Dua orang yang sibuk seakan ingin melakukan sesuatu untuk tempat wisata baru. Suwarsi memberanikan diri menemui dua wartawan itu. “bapak bapak ini dari mana ya? Ada kepentingan apa kok dari tadi sibuk di tempat ini”, Tanya polos dan halus bocah SMP kelas 7 ini. Kulit kuningnya mulai mendadak pucat merah seperti ketakutan manakala dua orang ini seakan terganggu dengan pertanyaan Suwarsi. Dua langkah kedepan,dua orang ini mendekati Suwarsi yang nampak tegang. Ekpresinya seakan menyesal atas apa yang ia ucapkan. Tangan Anita ia pegang erat,kaki mulai ingin meninggalkan tempat secepat kilat. Dua orang itu semakin dekat,wajah agak hitam dan berkeringat membuat tampilan seakan orang jahat. Sambil memperlihatkan kamera, salah satu memegang bahu Suwarsi. “Dik, saya dan teman bapak ini sedang ambil gambar untuk liputan di tempat kerja bapak di Jakarta sana, hanya untuk pekerjaan.

Mendengar jawaban itu, Suwarsi mulai menurunkan tensi. Wajah pucatnya mulai mereda. Senyum dua wartawan ini membuat kekhawatirannya sirna. Mereka bahkan asyik mengobrol. Suwarsi menjelaskan tempat-tempat cantik dan indah lainnya di bumi Candirejo. Ia jelaskan betapa Candi Risan di ufuk timur begitu megah memecah angkasa, dinginnya air curug banyu ripan, mempesonanya telaga biru di bagian ujung timur desa,indahnya hasil ukiran para pengrajin desa,dan tak ketinggalan juga elok dan asrinya bumi curug Bangunsari,yang kelak akan diperbaiki agar lebih menggoda para pengunjung seantero desa dan sekitarnya.

Obrolan sore itu diakhiri dengan sebungkus plastik yang diberikan kepada Suwarsi. Suwarsi tertegun,tak ingin menerimanya. Namun Anita begitu ingin tahu apa isi plastik yang telah diberikan oleh dua orang ini. Plastik yang terasa berat ia tenteng sambil membonceng. Ia pegang, seperti ada benda aneh,keras dan tipis. “Ini apa ya , kok mereka memberikan benda ini? Tanya Suwarsi dalam boncengan arah mereka pulang. “ah yang penting sesampai dirumah kita buka saja,sapa tahu benda berharga,lalu kita jual bisa buat beli sepeda motor,jadi tidak perlu susah payah mengayuh sepeda butuh ini,haha”ucap Anita menggoda Suwarsi.

Sesampai di rumah, bergegas mereka buka plastik itu. Sebuah benda kerucut bertuliskan Souvenir,jelas bahasa Inggris dan mungkin dari luar negeri. Benda kerucut yang atasnya tergambar candi dan ada pembuka yang semakin menambah rasa ingin tahu Suwarsi dan Anita. Ia buka perlahan dan tampak sebuah cinderamata berbentuk replica bertuliskan Candi Risan. Mereka terkejut terheran-heran. Benda yang diberikan orang yang baru saja ia kenal adalah cinderamata khas desanya. Desa kita kok punya benda seperti ini”, mereka itu siapa ya? ,,jangan-jangan mereka punya niat jahat”,kata Anita penuh curiga. “ ah justru mereka itulah yang akan menjadikan desa kita semakin terkenal. Mampu mempromosikan desa kita seluas-luasnya. “Siapa tahu kita bisa masuk TV “, hahaha…

 Obrolan dan kelakaran mereka terpotong,manakala sore menuju malam. Keluarga Wasino nampak sunyi. Tanpa suara televisi ataupun radio. Tugiyati sibuk belajar bersama adiknya. Sedangkan Wasino sudah terlelap mengistirahatkan capeknya badan seharian bekerja. Sunyi malam itu terpecah manakala terdengar bunyi pintu seperti ada tamu. Bergegas Wasino terbangun dari tidurnya. Ia buka pintu dan nampak seorang pemuda tanggung dengan wajah sangar,tegap dengan jaket kulit di badannya. Wasino heran penuh tanya. “ada apa mas?”, Tanya Wasino lirih. “apa betul ini rumah Bp Wasino?”. “iya betul sekali,ada yang bisa dibantu?”. Pemuda itu kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, ternyata ia adalah suruhan juragan batu yang ingin menagih hutang karena telah sebulan tidak ia bayar. Wasino bingung harus menjawab apa, dahinya mulai mengernyit ,rasa capeknya tiba saja hilang ditelan malam. Ia jawab dengan nada pesimis ke pemuda itu kalau hutangnya segera ia lunasi esok hari. Terlanjur terucap kalimat itu, menyesal dan penuh beban.

Pagi menjelang, rutinitas rumah kecil nan damai itu terasa sibuk sekali. Si kakak yang kebetulan hari ini mewakili karang taruna desanya ke provinsi sudah pergi sejak pagi buta. Pak wasino yang tidak ingin terlambat lagi pun bergegas berangkat kerja. Tinggallah suwarsi sibuk merapikan semua menunggu berangkat bersama Anita.

Di pabrik itu,Wasino terlihat beda dari hari biasannya. Tamu semalam membuat pikirannya terpecah belah. Pekerjaan hari itu tampak sangat berat ia lakukan. Angkat sini,taruh situ, ambil ini,kemas itu. Pekerjaan yang seakan secepatnya ia selesaikan dan berlari mencari uang kilat membayar hutangnya. Namun apa daya,selesai ia bekerja hari terlalu sore. Ia kendarai motornya cepat menemui sanak saudaranya. Berharap dapat uang pinjaman untuk menutup lubang. Dua saudara yang ia temui tak bisa membantu. Uang hutangnya terlalu banyak, sulit mencari uang sebanyak itu dengan cepat.

Wasino melamun dalam perjalanan pulangnya. Kaos lusuh,celana rombeng khas pekerja menempel hati cemasnya. Ia bayangkan bila pemuda itu datang kembali, mungkin satu benda lagi ia gadaikan. Mungkin saja sepeda motornya yang menjadi kaki tambahan selama ini yang ia korbankan. Untuk bekerja dipabrik saja sungguh tidak cukup untuk membiayai kedua buah hatinya. Pikiran-pikiran akan kebutuhan itu membuat ia enggan akan pulang,namun kekhawatiran andai dua anak gadisnya tahu membuat ia secepatnya pulang.

 

Wajah lelah Wasino sampai di rumah. Terburu-buru ia temui dua anak gadisnya. Tampak tidak ada yang berubah. Segelas teh dan singkong tetap tersedia buat bapak tercinta. Ia taruh topi bututnya sambil menengok kanan kiri mencari Tugiyati dan Suwarsi. “Yati!,Warsi! Kesini nak, bapak mau bicara sebentar. Mendengar ucapan bapaknya, dua anak gadisnya yang sedang sibuk menyiapkan menu makan malam bergegas menemui Wasino. “Ada apa Pak? Ucap Tugiyati lirih. “begini anak-anakku, bapak nanti akan didatangi tamu,mereka mau pinjam motor bapak selama seminggu”. Mendengar apa yang disampaikan bapaknya, kedua anak ini hanya  mengangguk tanda mengiyakan. Wasino tertegun,tak seperti biasanya kedua anak ini tak kritis. Sering kali bila ada masalah Tugiyati dan Suwarsi paling sibuk mencari tahu dan bertanya kepada bapaknya. Namun hari ini,mereka hanya terdiam tanpa ada rasa curiga. Wasino heran dalam lamunan sore itu sambil mengendapkan badannya menunggu malam.

Tamu yang ditunggu tak juga datang. Lelaki tegap pembuat beban Wasino bertambah berat hari itu tidak menemuinya. Ia tunggu hingga mata tak kuat menahan lagi. Hingga hati dan pikirannya semakin tidak karuan. Satu hal yang terlintas dipikirannya,bahwa ia akan kehilangan motornya. Sepeda motor yang menjadi tumpuan hidup keluarga kecil itu.”Pak,menapa dereng sare?’,satu lagi kalimat santun bahasa jawa terucap manis Tugiyati pada Wasino.” Ora enek opo-opo nduk,gek ndang turu,sesuk gen ra telat”,jawab bapak. Dialog antara bapak dan anak yang mulai jarang terlihat saat ini. Generasi muda jawa mulai terkikis jawanya.

Pagi menjelang,kokok ayam bersahutan. Ibadah subuh berjamaah seperti biasa menandai kesibukan dimulai. Tugiyati tak terlihat membantu adiknya. Ia masih dikamar,tertegun sembari tersenyum. Seakan tersembunyi kata dan tindakan yang telah ia lakukan. “kak,kok dikamar saja,bantu aku dong!”, pinta Suwarsi. Iya dik”,ucap Tugiyati sambil bergegas mengambil sapu. Sang bapak tersayang mengambil peralatan kerja dan mengeluarkan motornya. Ia cuci dan terlihat bersih tak seperti biasa, mungkin saja nanti ketika diminta,juragannya tidak akan kecewa melihatnya.

Beberapa jam berlalu, pekerjaan Wasino seperti biasa. Mengambil batu dan menatanya. Dalam hati kecilnya,masih bertanya-tanya,kenapa suasana rumah tiada berubah. Padahal masalah besar akan datang. “Gubrak, Wasino keras sekali membuang limbah batu hasil pabrik. Ia tengok ke belakang dan tiba-tiba jantung berdetak keras. Tatapannya tertuju pada satu orang,Pak Teguh. Dalam hatinya seakan ingin segera kabur atau bahkan memohon dengan sangat kepada juragannya. Pak teguh melihat Wasino. Ia hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Semacam tanda puas atau mungkin rasa senang kepada Wasino. Wasino tambah bingung,hingga ia beranikan diri menemui Pak Teguh.

Pak’, mohon maaf,mohon maaf sekali saya belum bisa melunasi hutang saya, ambillah motor saya ini pak, mudah-mudahan bisa melunasi”, ucap penuh takut dari lelaki paruh baya ini sambil menjabat erat tangan juragannya.”hutang apa No, hutang kamu sudah lunas,kemarin orang suruhanku yang bawa”,jawab Pak Teguh seakan heran dengan sikap Wasino. Pak teguh lalu bergegas melanjutkan langkah menuju mobil dan meninggalkan pabrik.

Wasino tertegun,siapa yang melunasi hutangnya. Ia selesaikan pekerjaannya dan bergegas pulang. Ia tanya kepada dua anak gadisnya. Hinggga rasa herannya terjawab. Matanya mulai berkaca kaca mana kala ia dapati jawaban tulus dari Tugiyati. Hutang yang teramat banyak telah dilunasi buah hatinya. Uang yang banyak itu ternyata selama ini diperoleh dari hasil Tugiyati mendapatkan juara 1 tingkat provinsi tentang karang taruna dan tanpa sepengetahuan Wasino,Tugiyati ikut berjualan kaos dan kenang-kenangan ditempat wisata didesanya. Semua berawal dari sebuah pengalaman dan pengabdian membesarkan tanah kelahiran. CANDIREJO…..

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

Link Download

https://web.facebook.com/groups/1697917560469113/files/